“Mirip teriakan di
padang gurun tak terbukti dan terlalu mengada ada, apakah para pengamat
tidak melihat kenyataan, bagaimana bedanya kesenian di Bali tahun 40an
dengan tahun 2000an,” ungkap putra bungsu dari 8 bersaudara ini.
Dalam pandangan
Gung Alit, perkembangan aneka seni di Bali terutama yang ada kaitannya
dengan tabuh tari dan seni secara umum sangat baik. Terbukti bila di
tahun 30an atau 40an hanya di tingkat Kabupaten saja kita bisa melihat
gamelan kebyar, sekarang di tiap banjar ada gamelannya.
“Dulu pengajar tari
penguruk gamelan ataupun penarinya sekalipun sangat langka hanya ada
satu dua dan itu sudah tua, sekarang, setiap gang seakan ada penguruknya
setiap jalan ada penarinya dan tiap telajakan ada sanggar tari apakah
itu keterpurukan,” ujarnya dalam nada tinggi.
Seni menurutnya
berkembang sangat pesat di Bali karena tanahnya sendiri sudah mengandung
hara kesenian yang tinggi. Tinggal pewaris pelaku dan penerusnyalah
yang sekarang ini harus serius melakukan inovasi.
Kalaupun ada yang
menyebut tergerus dan akhirnya punah itu karena senimannya sendiri yang
melakukan kesalahan fatal. Menjadi seniman karena lahir di Bali bukan
menjadi seniman karena panggilan hati nurani.
“ Ada banyak
seniman yang hanya untuk bisa pentas di hotel merengek pada agent, ya
akhirnya Cuma jadi seniman ketengan, diangkut dengan truk pasir, dibayar
dengan beberapa lembar dollar,” tambahnya.
Seniman itu harus dilandasi dengan cinta, begitu juga menjaga warisan budaya di segala ini harus dengan cinta.
“Itu artinya cinta
atau budaya harus dilakukan seperti memegang telor, jangan terlampau
kuat menggenggamnya karena akan membuat telornya pecah jangan terlalu
longgor juga genggamannya karena telornya akan jatuh berantakan,”
ungkapnya berandai andai.
Dalam hal seni dan
budaya genggaman yang terlalu longgar terjadi pada pertunjukan semacam
arja dan drama gong yang sekarang ini mulai menyurut keberadaannya.
“Ini karena kita
longgar dalam hal pembinaan seniman generasi penerusnya, kita terpesona
pada sinetron dan televisi, lupa punya drama gong,” ungkapnya di sanggar
Bona Alit yang asri di Gianyar.
Sedangkan budaya yang terlampau ketat digenggam Gung Alit mencontohkannya seperti genggaman yang erat pada awig dan adat.
“Karena terlalu
kaku pada kebenaran, sering penerapan awig dilakukan dengan cara
sporadis, maka kemudian timbul bentrok masa karena masalah kuburan dan
hal lain yang semestinya bisa dipecahkan dengan cara musyawarah,”
ungkapnya.
Pandangannya yang
sering kontras itu kerap mengantarnya pada situasi yang tidak
menguntungkan, seperti di panggil oleh pihak yang merasa dirugikan
ataupun yang merasa diajak konflik secara frontal.
Dalam hal bermusik
Gung Alit juga melakukan banyak terobosan. Ini berangkat dari kebosanan.
Sejak umur 10 tahun dia adalah pengiring kelompok arja di kampungnya.
“Kadangkala ada
rasa bosan melakukan hal yang sama mengiringi penari yang sama, dan
bosan itu hak asasi seluruh manusia hidup maka sebagai seniman kebosanan
itu harus di pertanggung jawabkan dengan membuat sesuatu yang baru,”
ujarnya serius.
Dan itu
dilakukannya dengan melakukan kolaborasi, dia tak pernah belajar secara
langsung dari seorang guru bagaimana memainkan seruling atau rindik. Dia
melakukannya secara otodidak.
“Hasilnya dari
mengutak utik gitar, selonding, kecapi, rebab, rindik dan mencampurnya
dengan kecak, teater dan tembang sampai sekarang sudah ada 3 album musik
kolaborasi yang saya hasilkan, semuanya berjudul whisper atau
kisi-kisi,” tuturnya. Dalam setiap album itu dia selalu melibatkan
istrinya Gung Ayu, 45 tahun yang juga adalah penembang handal di daerah
ini.
Gung Alit tak
pernah melakukan target dalam menghasilkan album. Yang pertama dibuat
tahun 90 dengan 10 lagu, yang kedua tahun 2005 sebanyak 8 lagu sedangkan
yang terbaru 2010 dengan 10 lagu.
“Dalam mencipta
apakah alat musik seperti rebab ataupun mencipta lagu untuk album saya
tak pernah pusing apakah akan dibeli orang, apakah bisa laku keras, yang
saya peduli jangan sampai di bajak,” ungkapnya sambil terkekeh.
Karena pembajakan
itu mirip rampok di siang hari bolong, seniman melakukan serius proses
penciptaan siang malam, dia datang tanpa permisi dan mendapatkan
keuntungan berlipat dari sang senimannya sendiri.
Maka dia tak pernah menjual langsung albumnya yang tiap edisi dicetak 6000 buah itu di pasaran.
“Mereka yang merasa
senang dengan karya saya akan mencarinya kesini karena mereka tak akan
bisa mendapatkannya disembarang tempat kecuali yang saya percaya untuk
menjualnya,” tambahnya.
Idea awal
kolaborasi terjadi tahun 85, Gung Alit beranggapan selain dihinggapi
rasa bosan dia juga memiliki naluri untuk keluar dari pakem. Maka untuk
musik kolaborasi itu dia tak menerapkan keharusan alat musik ditabuh
sesuai dengan aslinya. Semua seniman dibebaskannya untuk melakukan
pengembangan.
“Karena menurut
saya suara yang keluar dari alat musik dimanapun di dunia ini sama
kedengarannya hanya cara memainkannya yang berbeda, maka saya bebaskan
mereka untuk memainkan apa saja yang tidak sesuai dengan aslinya,
hasilnya ya musik nyeleneh kata orang yang baru dan lebih baik dan bisa
dinikmati oleh segala kalangan,” tuturnya.
Ini karena Gung
Alit beranggapan selain boleh bosan dan boleh keluar dari pakem, dia
juga memegang erat sebuah prinsip, dibalik semua eksplotasi musiknya itu
dia juga harus memelihara warisan yang telah ada.
“Ini yang sangat
jarang disadari oleh seniman, mereka memberi segalanya kepada siapapun
termasuk turis dari mancanegara,” ungkapnya. Dia mencontohkan bagaimana
di Jepang , Korea , Amerika dan Eropah seniman kita memberikan
segalanya, mulai dari Barong, Kebyar, Gamelan, Kendang dan seluruhnya.
“Akhirnya mereka
bisa memainkannya dengan lebih piawai dari kita, maka bila dulu negara
negara itu sering mengundang missi kesenian dari Bali sekarang mereka
tak pernah melakukannya karena sudah dianggap biasa dan mereka
memilikinya sendiri,” tambahnya.
Justru musik
kolaborasinya yang dianggap nyeleneh itulah yang sekarang ini kerap
diundang untuk melakukan semacam demo dan pertunjukan di negara yang
dulunya kerap mengundang misi kesenian dari Bali .
“Ini karena musik
saya yang berkolaborasi dengan berbagai macam seniman dari seluruh
Indonesia bahkan ada yang dari beberapa negara luar itu terasa lebih
orisinil dan tentu saja tidak bisa mereka mainkan,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar