Jumat, 14 September 2012

tentang gung alit

Selama ini sering terjadi lontaran miring tentang pelestarian budaya, entah itu tarian gamelan, bangunan, music, dan sejenisnya. Banyak yang berteriak segalanya sudah semakin menghilang, semakin rendah mutunya semakin terkikis dan sejenisnya. Namun bagi Gung Alit, 48 tahun semuanya itu dianggapnya angin lalu. Seniman serba bisa kelahiran Bona Gianyar Bali ini mencoba melakukan perbandingan untuk menjawab pertanyaan itu. Karena menurutnya para pakar dan pengamat budaya cenderung melakukan kajian dengan cara pandang barat yang kebarat birit.


“Mirip teriakan di padang gurun tak terbukti dan terlalu mengada ada, apakah para pengamat tidak melihat kenyataan, bagaimana bedanya kesenian di Bali tahun 40an dengan tahun 2000an,” ungkap putra bungsu dari 8 bersaudara ini.
Dalam pandangan Gung Alit, perkembangan aneka seni di Bali terutama yang ada kaitannya dengan tabuh tari dan seni secara umum sangat baik. Terbukti bila di tahun 30an atau 40an hanya di tingkat Kabupaten saja kita bisa melihat gamelan kebyar, sekarang di tiap banjar ada gamelannya.
“Dulu pengajar tari penguruk gamelan ataupun penarinya sekalipun sangat langka hanya ada satu dua dan itu sudah tua, sekarang, setiap gang seakan ada penguruknya setiap jalan ada penarinya dan tiap telajakan ada sanggar tari apakah itu keterpurukan,” ujarnya dalam nada tinggi.
Seni menurutnya berkembang sangat pesat di Bali karena tanahnya sendiri sudah mengandung hara kesenian yang tinggi. Tinggal pewaris pelaku dan penerusnyalah yang sekarang ini harus serius melakukan inovasi.
Kalaupun ada yang menyebut tergerus dan akhirnya punah itu karena senimannya sendiri yang melakukan kesalahan fatal. Menjadi seniman karena lahir di Bali bukan menjadi seniman karena panggilan hati nurani.
“ Ada banyak seniman yang hanya untuk bisa pentas di hotel merengek pada agent, ya akhirnya Cuma jadi seniman ketengan, diangkut dengan truk pasir, dibayar dengan beberapa lembar dollar,” tambahnya.
Seniman itu harus dilandasi dengan cinta, begitu juga menjaga warisan budaya di segala ini harus dengan cinta.
“Itu artinya cinta atau budaya harus dilakukan seperti memegang telor, jangan terlampau kuat menggenggamnya karena akan membuat telornya pecah jangan terlalu longgor juga genggamannya karena telornya akan jatuh berantakan,” ungkapnya berandai andai.
Dalam hal seni dan budaya genggaman yang terlalu longgar terjadi pada pertunjukan semacam arja dan drama gong yang sekarang ini mulai menyurut keberadaannya.
“Ini karena kita longgar dalam hal pembinaan seniman generasi penerusnya, kita terpesona pada sinetron dan televisi, lupa punya drama gong,” ungkapnya di sanggar Bona Alit yang asri di Gianyar.
Sedangkan budaya yang terlampau ketat digenggam Gung Alit mencontohkannya seperti genggaman yang erat pada awig dan adat.
“Karena terlalu kaku pada kebenaran, sering penerapan awig dilakukan dengan cara sporadis, maka kemudian timbul bentrok masa karena masalah kuburan dan hal lain yang semestinya bisa dipecahkan dengan cara musyawarah,” ungkapnya.
Pandangannya yang sering kontras itu kerap mengantarnya pada situasi yang tidak menguntungkan, seperti di panggil oleh pihak yang merasa dirugikan ataupun yang merasa diajak konflik secara frontal.
Dalam hal bermusik Gung Alit juga melakukan banyak terobosan. Ini berangkat dari kebosanan. Sejak umur 10 tahun dia adalah pengiring kelompok arja di kampungnya.
“Kadangkala ada rasa bosan melakukan hal yang sama mengiringi penari yang sama, dan bosan itu hak asasi seluruh manusia hidup maka sebagai seniman kebosanan itu harus di pertanggung jawabkan dengan membuat sesuatu yang baru,” ujarnya serius.
Dan itu dilakukannya dengan melakukan kolaborasi, dia tak pernah belajar secara langsung dari seorang guru bagaimana memainkan seruling atau rindik. Dia melakukannya secara otodidak.
“Hasilnya dari mengutak utik gitar, selonding, kecapi, rebab, rindik dan mencampurnya dengan kecak, teater dan tembang sampai sekarang sudah ada 3 album musik kolaborasi yang saya hasilkan, semuanya berjudul whisper atau kisi-kisi,” tuturnya. Dalam setiap album itu dia selalu melibatkan istrinya Gung Ayu, 45 tahun yang juga adalah penembang handal di daerah ini.
Gung Alit tak pernah melakukan target dalam menghasilkan album. Yang pertama dibuat tahun 90 dengan 10 lagu, yang kedua tahun 2005 sebanyak 8 lagu sedangkan yang terbaru 2010 dengan 10 lagu.
“Dalam mencipta apakah alat musik seperti rebab ataupun mencipta lagu untuk album saya tak pernah pusing apakah akan dibeli orang, apakah bisa laku keras, yang saya peduli jangan sampai di bajak,” ungkapnya sambil terkekeh.
Karena pembajakan itu mirip rampok di siang hari bolong, seniman melakukan serius proses penciptaan siang malam, dia datang tanpa permisi dan mendapatkan keuntungan berlipat dari sang senimannya sendiri.
Maka dia tak pernah menjual langsung albumnya yang tiap edisi dicetak 6000 buah itu di pasaran.
“Mereka yang merasa senang dengan karya saya akan mencarinya kesini karena mereka tak akan bisa mendapatkannya disembarang tempat kecuali yang saya percaya untuk menjualnya,” tambahnya.
Idea awal kolaborasi terjadi tahun 85, Gung Alit beranggapan selain dihinggapi rasa bosan dia juga memiliki naluri untuk keluar dari pakem. Maka untuk musik kolaborasi itu dia tak menerapkan keharusan alat musik ditabuh sesuai dengan aslinya. Semua seniman dibebaskannya untuk melakukan pengembangan.
“Karena menurut saya suara yang keluar dari alat musik dimanapun di dunia ini sama kedengarannya hanya cara memainkannya yang berbeda, maka saya bebaskan mereka untuk memainkan apa saja yang tidak sesuai dengan aslinya, hasilnya ya musik nyeleneh kata orang yang baru dan lebih baik dan bisa dinikmati oleh segala kalangan,” tuturnya.
Ini karena Gung Alit beranggapan selain boleh bosan dan boleh keluar dari pakem, dia juga memegang erat sebuah prinsip, dibalik semua eksplotasi musiknya itu dia juga harus memelihara warisan yang telah ada.
“Ini yang sangat jarang disadari oleh seniman, mereka memberi segalanya kepada siapapun termasuk turis dari mancanegara,” ungkapnya. Dia mencontohkan bagaimana di Jepang , Korea , Amerika dan Eropah seniman kita memberikan segalanya, mulai dari Barong, Kebyar, Gamelan, Kendang dan seluruhnya.
“Akhirnya mereka bisa memainkannya dengan lebih piawai dari kita, maka bila dulu negara negara itu sering mengundang missi kesenian dari Bali sekarang mereka tak pernah melakukannya karena sudah dianggap biasa dan mereka memilikinya sendiri,” tambahnya.
Justru musik kolaborasinya yang dianggap nyeleneh itulah yang sekarang ini kerap diundang untuk melakukan semacam demo dan pertunjukan di negara yang dulunya kerap mengundang misi kesenian dari Bali .
“Ini karena musik saya yang berkolaborasi dengan berbagai macam seniman dari seluruh Indonesia bahkan ada yang dari beberapa negara luar itu terasa lebih orisinil dan tentu saja tidak bisa mereka mainkan,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar